Minggu, 13 November 2011

Menulis : Mencetak Sejarah ( Resensi )

Menulis adalah tradisi. Tradisi intelektual muslim, tradisi intelektual para pembangun peradaban, apa pun bentuk peradaban itu. Maka, menulis adalah niscaya bagi mereka yang ingin berkontribusi dalam membangun peradaban.
Menulis adalah sinergi. Sinergi harmonis antara bakat dengan kemauan. Oleh karenanya, banyak didapati, ada orang yang memang tidak berbakat sama sekali, tetapi berhasil menuai predikat Best seller karena ia memiliki kemauan yang sangat kuat. Ia mencoba dengan seluruh kemampuannya untuk menjadi seperti yang ia inginkan. Ia bersimbah peluh, bermandi darah, terjatuh, bangun, terjatuh lagi kemudian bangun lagi untuk mengejar takdirnya sebagai penulis.

Maka tekad bajanya itu diganjar tunai. Ia tercetak sejarah sebagai “Best Seller,” meskipun dalam takdirnya dulu, ia tak punya sedikitpun bakat dalam menggoreskan pena.

Begitupun sebaliknya, orang malas yang dikarunia jutaan bakat menulis, tidak akan mungkin menorehkan satu pun karya ketika menuruti malasnya. Jangankan menjadi “Best Seller,” menyentuh keyboard pun tidak pernah. Menggoreskan pena juga malas. Wajar saja jika takdirnya berubah karena rasa malasnya.

Menulis adalah cinta. Para penulis memang penuh dengan cinta dalam segala bentuknya.  Mereka menulis untuk berbagi cinta. Cinta kepada Allah, cinta kepada RasulNya, cinta kepada dakwah dan cinta kepada sesamanya. Maka, penulis yang berlimpah cinta, akan mempersembahkan tulisannya untuk mereka yang dicintainya.

Menulis adalah mencetak sejarah. Banyak sekali penulis yang mati jasadnya namun karyanya tetap harum. Usia amalnya lebih panjang dari usia biologisnya. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya. Beliau, tercatat pernah berjalan sejauh 30.000 mil hanya untuk mencari hadits. Karena kegigihannya, beliau berhasil menghafal 1.000.000 hadits dan menulis 40.000 hadits.  Dalam kurun waktu yang berbeda, ada Ibnu Jarir Ath Thobari. Master tafsir ini tercatat menulis 100.000 halaman. Ibnu Jauzi pernah menulis 1000 judul buku. Dan bayangkan! Al Anbari bisa menghafal 400 kitab tafsir.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, kita pun mengenal banyak sekali penulis yang menyejarah. Sebut saja Ahmad Hasan Bandung yang menulis 80 buah buku dan dicetak ulang sebanyak 531.000 eksemplar. Buya Hamka yang menulis 118 buku dan tafsir Al Azhar yang monumental serta Mahmud Yunus yang menulis 37 buku berbahsa Indonesia dan 27 berbahasa Arab. Ia menulis tafsir Al-Qur’an dan telah dicetak ulang sebanyak 37 kali pada tahun 2004.

Fakta di atas hanyalah sekelumit dari keseluruhan fakta yang terdapat dalam buku antologi “Menulis Tradisi Intelektual Muslim.” Buku yang ditulis oleh 25 penulis hebat dari seluruh Indonesia ini akan membuat pembaca menjadi ‘gila’ baca dan juga ‘gila’ menulis. Disajikan dengan bahasa sederhana  yang sangat nikmat untuk ditelusuri dari awal sampai akhir.

Buku yang diterbitkan oleh Youth Publisher - Yogyakarta- ini akan membuat pembaca berteriak “aha!” dan kemudian mengikuti jejak para pendahulu umat ini: mencetak sejarah dengan pena. Merubah dunia dengan karya. Salam kemuliaan menulis. Maka, menulislah! Atau kita tidak akan pernah ditulis oleh sejarah. (n usman alfarisi)

dimuat di Harian Medan Bisnis ( http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/11/13/66124/menulis_mencetak_sejarah/#.TsBm8nIsTEQ )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar