Selasa, 08 November 2011

Mbah Dati.


Tiba-tiba saja Saya teringat dengan nama itu. Sesosok wanita langit yang sudah senja usianya. Saya tidak tahu pasti berapa usia bilogisnya. Jika tidak salah tebak, beliau berkisar antara 70 sd 80 tahun. Sebuah usia yang sudah mencapai taraf ‘bonus”. Karena umat Rasulullah, rata–rata berada pada kisaran 60an tahun.

Apa yang menarik dari sosok beliau? Saya tidak banyak tahu juga. Mungkin, yang faham adalah para pemuda yang dulu sezaman dengannya. Sayangnya, generasi mereka sudah tidak banyak saya dapati. Bahkan, sang suami, Mbah Drakmin, sudah sakit-sakitan dan menghabiskan waktunya di ranjang, mengantri pangilan dari Izrail.



Sebenarnya, ada bebarapa wanita yang seusia dengan beliau - Mbah Dati. Sebut saja Mbah Tiyem dan Mbah Cublek. Namun, kedua nama ini juga tidak bisa saya mintai keterangan terkait pribadi Mbah Dati. Karena kedua sahabatnya ini, telah mendahului beliau. Ya, kedua sahabatnya itu telah dipanggil oleh Allah sekitar 2 sampai 3 tahun yang lalu. Maka, Mbah Dati adalah satu-satunya bidadari yang tersisa.



Jika sahabat sekalian melihat wanita ini, pastilah akan berkata, “ Biasa saja, tidak ada yang istimewa.” Apalagi ketika melihat sosoknya yang benar- benar senja. Jika mentari, maka ia berada pada posisi jam setengah enam sore, sebentar lagi terbenam. Jalannya sudah menunduk, pandangannya sudah samar, pun telinganya sudah sering ‘susah mendengar’. Ya, ketika melihat beliau seharusnya kita ingat, bahwa fisik yang dulu dibanggakan, setalah tua tinggalah cerita. Keriput menjalari diseluruh tubuh beliau.

Meski sudah senja, beliau ini memiliki semangat yang baja. Hal ini saya dapati sejak 4 tahun yang lalu, sebelum saya memutuskan untuk merantau, hingga sekarang. Hampir setiap kali saya mudik, beliau pasti datang ke rumah sebelum saya sempat mengunjunginya. Ya, saya hanya menemani beliau sesekali sepulang dari masjid ketika sholat subuh. Sambil berbincang menanyakan perihal suaminya yang tak kunjung ‘sembuh’.

Ketika beliau mencium ’bau’ saya, beliau membinarkan senyumnya sehingga nampak muda. Ya, setiap saya mudik dan menemui beliau, wajahnya selalu sumringah dan tertawa dengan kekeh yang menjadi-jadi. Jika krupuk, maka ini adalah krupuk yang paling renyah. Kemudian, saya menyambutnya dan mendudukannya di kursi depan gubuk kami. Lalu beliau menanyakan perihal kedatanganku, “ Kapan pulang? Bawa duit banyak ya ? Kapan nikah? Calonnya mana ? dan seterusnya.” Saya hanya menjawab dengan senyum dan sebuah kalimat, “Doakan saja Mbah.” Iapun membalas senyumku, dengan senyum termanis yang dia miliki.
Lantas, apa yang membuat beliau istimewa? Atau, barangkali ini tidak salah : Apa yang membuat saya istimewa di mata beliau? Hehehe.

Begini kisahnya.

Ketika saya masih di kampung, saat itu sekitar usia SMP. Masjid di kampung kami sangatlah sepi dari jama’ah. Hanya beberapa wanita jompo, dimana di dalamnya ada 3 bidadari itu : Mba’ Dati, Mbah Tiyem dan Mbah Cublek. Tiga bidadari ini, pasti ada ketika sholat berjama’ah. Mulai dhuhur, ashar, maghrib, isya’ bahkan subuh. Saya yang masih tahap belajar kala itu, seringkali datang terlambat. Dhuhur di sekolah, Ashar di sekolah juga, Maghrib terlambat karena main sepak bola, Isya’ terlambat karena bercanda, dan subuh kesiangan karena malam begadang. Bisa begadang karena belajar, begadang karena nonton bola, atau begadang karena nulis surat. Bukan surat cinta untuk pacar melainkan surat cinta untuk keluarga dirantau. Astaghfirullahal ‘Adhiim.

Ketika itu, saya diamanahi untuk membimbing ke-empat adik. Maka, nyarus tidak ada orang yang membangunkan ketika subuh. Nah, di saat seperti inilah, Mbah Dati datang denga pesonanya. Beliau datang dengan salam yang dikeraskan dan gedoran pintu yang membahana. “ Man, bangun Man! Sudah jam 4.30. masjid tidak ada yang adzan. Ayo Buruan! Kampung sebelah sudah hampir selesai sholat!” Sontak saja, saya terbangun kebingungan sambil mengeluarkan jurus ampuh agar beliau berhenti ‘meneriakkan’ ceramahnya, “ Ya Mbah, ini sudah bangun.” Astaghfirullah, padahal kala itu mata saya masih merem.

Dan setelahnya, saya beranjak untuk mengambil sarung untuk meluncur ke masjid. Ambil air wudhu, menabuh bedug, adzan, sholawatan sembari menunggu imam datang. Jika sampai 15an menit imam tak kunjung muncul, maka saya pasti didaulat oleh para ‘ bidadari ‘ itu untuk menajdi imam. Dan kala itu,menolak bukanlah sifat kesatria.
Satu lagi yang mebuat saya salut dengan Mbah Dati. Telinganya. Ya, organ itu yang membuat saya takjub bercampur bingung. Bingung karena kata orang, beliau itu tuli. Jika berbicara dengannya harus mendekat beberapa senti meter agar beliau mendengar. Itupun harus diiringi dengan suara Alto, jika suara yang digunakan Sopran, maka dipastikan, beliau tak bergeming. Namun, setiap kali adzan berkumandang, beliau langsung menyahut dengan memenuhi panggilan cintaNya. Ketika adzan berkumandang, tulinya sembuh.

Nah, ketika adzan lupa dikumandangkan oleh muadzin, maka beliau pasti ke rumah saya sembari marah-marah, “ Sudah masuk waktu sholat tapi kok belum adzan juga? Masih sibuk apa sich ?” dan ketika itu, sayapun langsung beranjak karena peringatannya.

Maka, dalam hal mendengar adzan, saya pastikan bahwa beliau tidak tuli.
Lalu, siapa sebenarnya yang tuli? Mbah Dati? Atau kita yang katanya mendengar? Pasalnya, Mbah Dati senatiasa menyambut seruan adzan, sedangkan kita? Tetap enjoy meski adzan telah selesai? Kita masih asyik dengan duniawi padahal Allah telah memanggil kita dengan panggilan cintaNya.

Ah, nampaknya kita harus berdoa agar Allah megampuni kelalaian kita. Semoga Allah tidak ‘menulikan’ kita. Semoga kita bisa benar- benar mendengar sehingga bisa segera menyambut seruan adzan, dalam keadaan bagaimanapun. Allah, Ampuni kekhilafan kami. Astaghfirullahal ‘adhiim.

Mbah Dati, sejatinya tidak tuli. Karena beliau selalu tepat waktu menyambut adzan, panggilan cintaNya. Maka, yang tuli adalah siapa yang tidak menyambut seruan Allah sebanyak 5 kali dalam sehari. Yang tuli, adalah mereka yang mengaku mendengar tapi tidak beranjak ke masjid ketika adzan bergema. Silahkan bertanya pada diri, apakah diri ini tuli? Mari mendengar, sebelum Allah ‘menulikan’ kita. Hayya ‘Alash-sholah !!! Hayya ‘alal Falah !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar