Selasa, 08 November 2011

Dengan Sabar dan Shalat.

Al Qur'an ibarat mata air yang tidak pernah kering. Ia merupakan sumber kehidupan yang selalu segar. Kapanpun kita mau, kita bisa serta merta mengambilnya. Bahkan, kita bisa senantiasa menyeertakannya dalam tiap jenak kehidupan kita. Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah sebagai Al Qur'an berjalan. yaitu pribadi-pribadi yang sellau menjadikan Al Qur'an sebagai pijakan dalam bersikap.

Ada 3 ayat yang disebutkan secara beruntun dalam Surat Al Baqoroh. yaitu ayat terkaid dakwah, dan cara yang harus kita tempuh agar tidak lelah di dalamnya. Ayat tersebut adalah ayat 44-46. Ayat ini dimulai dengan kalimat, “ Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”  Ini adalah kalimat yang terdapat dalam ayat 44. Sebuah teguran dari Allah Subhanahu Wa Ta’alaa kepada ahli KItab, Yahudi dan Nasrani. Teguran yang maknanya gugatan. Ya, Allah menggugat mereka. Gugatan itu terjadi karena laku yang tak bersesuain dengan kata. Pasalnya, para ahli kitab menyeru kepada pengikutnya untuk masuk islam, melakukan perintah Allah, sementara mereka sendiri tidak menjalankannya.

Dalam ayat sebelumnya, ahli kitab telah dilarang oleh Allah agar mereka tidak menjual ajaran Agama Allah dengan nilai yang sedikit, “ dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.”  Ayat  41 ini, kemudian diikuti dengan perintah agar Ahli Kitab hanya bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaa.

Ketika kita telusuri lebih jauh, ternyata kalangan mereka termasuk yang menuruti hawa nafsu. Dimana fatwa mereka , ajaran mereka, bukan murni karena Allah. Melainkan sesuai pesanan pihak yang berkuasa, juga disesuaikan dengan apa yang mereka kehendaki. Wajarlah jika kemudian mereka mendakwahkan sesuatu yang tidak mereka lakukan. Perbuatan ini, langsung ditegur oleh Allah dengan turunnya ayat 44 surat Al-Baqoroh tersebut di atas.

Sayyid Qutb menerangkan, bahwa ayat ini secara khusus memang menyinggung ahli kitab. Namun, jangkauan ayat ini sangatlah luas dan berlaku untuk kaum muslimin dan para juru dakwah hingga akhir zaman. Dimana sebelum berdakwah, kita ditutuntut untuk melakukan apa yang akan kita sampaikan. Sehingga kita tidak akan dikenai murka dari Allah. FirmanNya dalam surat Ash Shof ayat 3 ,”  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Dua ayat ini hendaknya membuat kita tunduk sehingga kita akan mendakwahkan apa yang telah kita lakukan. Jika tidak? Maka tunggulah datangnya janji Allah itu.

Mudahkah melakukan apa yang kita katakan? Tentunya tak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan sangat susah sekali. Karena kata memang lebih muda dari laku. Untuk berkata, kita cukup membuka rahang dan kemudian menggerakkan lidah untuk mengucapkan apa yang kita kehendaki. Tentunya, dengan ijin Allah. Namun, untuk menepati apa yang kita lakukan, sangatlah dibutuhkan perjuangan untuk melakukannya. Mari katakan, “ Besok kita akan tahajud dengan bacaan 1 juz.” Ternyata, esoknya banyak sekali aral dan rintangan yang menghadang. Ini merupakan salah satu bentuk ujian keimanan untuk kita. Karena pahala yang besar tidak mungkin diperoleh dengan pengorbanan yang sedikit. Maka, totalitas adalah keniscayaan.

Allah adalah Maha Mengetahui, Dia tidak mungkin menyuruh kita tanpa fasilitas. Perintahnya yang sulit itu, ternyata dilanjutkan dengan kiat yang mesti kita lakukan. Ya, pada ayat berikutnya, Allah memberikan kiat kepada kita agar bisa melakukan apa yang telah kita dakwahkan. Allah mengajari kita agar kita bisa menepati setiap kekata kebaikan yang terlanjur meluncur dari mulut kita. Apakah kiat dari Allah itu?

“ Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',” inilah dua kiat itu : Sabar dan Sholat. Dua kiat inilah yang akan memudahkan kita untuk melakukan apa yang telah kita katakan. Agar Allah tidak menurunkan murkaNya karena ketidak tepatan dakwah yang kita galakkan.

Sabar maknanya adalah menahan. Sebagaimana Puasa yang dimaknai sebagai setengah kesabaran, karena ketika puasa kita diwajibakan untuk menahan makan, minum dan melakukan hal-hal yang membatalkan puasa kita.
Para Ulama’ membagi sabar dalam 3 jenis. Yaitu Sabar dalam melaksanakan perintah Allah, Sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah dan Sabar dalam menerima musibah. Sabar yang tertinggi adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan.  Kita semua faham, bahwa setan senatiasa menggoda agar kita tergelincir. Ketergelinciran itu kita dapati manakala kita mengingkari apa yang diperintahkanNya. Oleh karena itu, sabar dalam tahap ini adalah yang paling agung pahalanya. Karena untuk melakukan ketaatan sepanjang hidup, susahnya bukan main.

Pastilah susah untuk membiasakan pergi ke masjid ketika adzan berkumandang. Apalagi untuk merutinkan membaca Qur’an barang satu atau dua juz setiap hari. Belum lagi mendawamkan diri untuk terus melakukan shalat dhuha. Pasalnya, ketika dhuha’ itu adalah waktu yang enak untuk ngobrol sebelum kerja. Belum lagi susahnya untuk melangkahkan kaki ketika ada undangan kajian, bangun di tengah malam ketika yang lain tertidur dalam kehangatan kasur atau pasangan hidup dan seterusnya. Terlebih untuk sekedar berbagi nikmat dengan pengemis yang lewat atau tetangga yang memang kurang berpunya harta. Ini semua, pastilah membutuhkan kesabaran yang baja.

Setelah sabar, Allah menyebutkan Sholat sebagai salah satu sarana minta tolong agar kita mampu menepati apa yang kita katakan. Lebih jauh, Shalat juga merupakan sarana untuk minta tolong atas semua masalah yang kita hadapi.
Rasulullah sebagai teladan terbaik, seringkali meminta bilal untuk adzan dengan bahasa, “ Istirahatkan kami dengan sholat ya Bilal.” Dalam riwayat lain, beliau juga berkali kali meyebutkan bahwa shalat bisa menolong pelakunya dari keterbelitan masalah kehidupan. Ini sangatlah bisa difahami, karena shalat adalah sarana untuk menghubungkan kita dengan Allah sebagai Solusi atas setiap masalah kita.

Dalam sebuah riwayat, sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa Ibnu Mas’ud tengah berbaring sembari memegangi perutnya. Nabi yang melihat itu kemudian bertanya, “ Wahai Ibnu Mas’ud, apakah perutmu sakit?” jawab Ibnu mas’ud jujur, “ Ya Nabi. Perutku sakit.” Rasul kemudian menjawab, “ Dirikanlah Sholat karena sholat adalah obat bagi penyakit.”

Dalam realita kekinian, apa yang disabdakan oleh nabi itu benar adanya. Dimana shalat tahajud yang terus menerus kita lakukan merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kok Bisa? Dalam dunia kedokteran, disebutkan bahwa penyakit yang menyerang tubuh kita, aksi paling dahsyatnya terjadi ketika berada di penghujung malam. Ketika itu tubuh dalam keadaan yang sangat lemah karena pulas tertidur. Ketika waktu itu kita gunakan untuk bangun dan sholat, maka tubuh kita melaksanakan gerakan-gerakan sholat yang fungsinya juga untuk menyehatkan tubuh sehingga aksi penyakit kala itu jadi melemah lantaran adanya perlawanan dari tubuh yang diserang.

Dalam buku Terapi Shalat Tahajud, dimana buku tersebut ditulis dari hasil sebuah penelitian terkait pengaruh kesehatan bagi pelaku shlat Tahajud yang menderita berbagai penyakit. Buku tersebut menyebutkan bahwa Tahajud yang dilakukan secara rutin, 11 rokaat tepat di jam 3 dini hari selama 40 hari, Insya Allah bisa menyembuhkan penyakit jantung dan penyakit yang berbahaya lainnya. Ini adalah fakta yang memang Allah ciptakan. Karena kedekatan denganNya, hasilnya hanya satu : keuntungan dunia dan kebahagiaan akhirat.

Setelah sabar dan sholat yang kita lakukan, maka Allah pasti menolong kita dalam setiap persoalan yang mampir. Lantas, mudahkah untuk melakukan keduanya? Ternyata jawabannya, “ Sesungguhnya Sabar dan sholat itu Berat kecuali bagi orang-orang yang Khusyu’.

Ya. Hanya khusyu’ yang membuat kita mudah untuk bersabar dan mendirikan sholat.

Khusyu’ maknanya dalah ketenangan hati dalam segala hal. Baik ketika sholat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Khusyu’ bukanlah perbuatan fisik, karenanya ia tidak dapat dinilai oleh manusia. Khusyu’ bukan pula berjalan menunduk, shalat sambil memejamkan mata atau aneka perbuatan yang dimaknai khusyu’. Sekali lagi, Khusyu’ adalah perbuatan hati yang pancarannya termanifestasikan dalam laku. Maka, Nabi adalah orang yang paling khusyu’ dan peri kehidupan beliau merupakan bukti dari kekhusyu’annya.

Permasalahan berikutnya adalah susahnya untuk Khusyu’. Tapi, jangan khawatir. Lagi-lagi Allah sangat meyayangi kita. Ternyata formula agar khusyu’ sudah Allah sertakan dalam Al Qur’an untuk kita praktekan. Agar Khusyu’, kita harus mempraktekan dua hal ini, “ (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”  Yakin akan pertemuan dengan Allah dan yakin bahwa kita akan kembali kepadaNya.

Maka, khusyu’ akan kita peroleh manakala kita benar- benar mengahayati sebuah fakta bahwa di sini, di dunia ini, kita hanyalah mampir. Setelah ini, kita akan kembali kepada sang pencipta untuk mempertanggungjawabkan semua yang kita perbuat. Kesadaran seperti inilah yang akan mebuat kita sungguh-sungguh dan selalu melakukan perhitungan yang cermat sebelum mengatakan atau melakukan sesuatu. Sehingga kita akan menepati setiap yang kita ucapkan. Karena kita akan dimintai pertanggungjawbakan atas semuanya. Termasuk, apakah kita menepati yang kita katakan atau justru sebaliknya?

Kawan, Allah adalah Maha Penolong. PetolonganNya sungguhlah dekat. Sedekat kita mendekatiNya. Maka, sepelik appaun masalahnya, serumit apapun persoalannya, mari dekati Allah. Rayu Ia agar berkehendak menolong kita. Jangan pernah merasa sendiri, karena Allah akan menolong kita ketika kita menolong agamaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar