Minggu, 13 November 2011

Menulis : Mencetak Sejarah ( Resensi )

Menulis adalah tradisi. Tradisi intelektual muslim, tradisi intelektual para pembangun peradaban, apa pun bentuk peradaban itu. Maka, menulis adalah niscaya bagi mereka yang ingin berkontribusi dalam membangun peradaban.
Menulis adalah sinergi. Sinergi harmonis antara bakat dengan kemauan. Oleh karenanya, banyak didapati, ada orang yang memang tidak berbakat sama sekali, tetapi berhasil menuai predikat Best seller karena ia memiliki kemauan yang sangat kuat. Ia mencoba dengan seluruh kemampuannya untuk menjadi seperti yang ia inginkan. Ia bersimbah peluh, bermandi darah, terjatuh, bangun, terjatuh lagi kemudian bangun lagi untuk mengejar takdirnya sebagai penulis.

Maka tekad bajanya itu diganjar tunai. Ia tercetak sejarah sebagai “Best Seller,” meskipun dalam takdirnya dulu, ia tak punya sedikitpun bakat dalam menggoreskan pena.

Begitupun sebaliknya, orang malas yang dikarunia jutaan bakat menulis, tidak akan mungkin menorehkan satu pun karya ketika menuruti malasnya. Jangankan menjadi “Best Seller,” menyentuh keyboard pun tidak pernah. Menggoreskan pena juga malas. Wajar saja jika takdirnya berubah karena rasa malasnya.

Menulis adalah cinta. Para penulis memang penuh dengan cinta dalam segala bentuknya.  Mereka menulis untuk berbagi cinta. Cinta kepada Allah, cinta kepada RasulNya, cinta kepada dakwah dan cinta kepada sesamanya. Maka, penulis yang berlimpah cinta, akan mempersembahkan tulisannya untuk mereka yang dicintainya.

Menulis adalah mencetak sejarah. Banyak sekali penulis yang mati jasadnya namun karyanya tetap harum. Usia amalnya lebih panjang dari usia biologisnya. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya. Beliau, tercatat pernah berjalan sejauh 30.000 mil hanya untuk mencari hadits. Karena kegigihannya, beliau berhasil menghafal 1.000.000 hadits dan menulis 40.000 hadits.  Dalam kurun waktu yang berbeda, ada Ibnu Jarir Ath Thobari. Master tafsir ini tercatat menulis 100.000 halaman. Ibnu Jauzi pernah menulis 1000 judul buku. Dan bayangkan! Al Anbari bisa menghafal 400 kitab tafsir.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, kita pun mengenal banyak sekali penulis yang menyejarah. Sebut saja Ahmad Hasan Bandung yang menulis 80 buah buku dan dicetak ulang sebanyak 531.000 eksemplar. Buya Hamka yang menulis 118 buku dan tafsir Al Azhar yang monumental serta Mahmud Yunus yang menulis 37 buku berbahsa Indonesia dan 27 berbahasa Arab. Ia menulis tafsir Al-Qur’an dan telah dicetak ulang sebanyak 37 kali pada tahun 2004.

Fakta di atas hanyalah sekelumit dari keseluruhan fakta yang terdapat dalam buku antologi “Menulis Tradisi Intelektual Muslim.” Buku yang ditulis oleh 25 penulis hebat dari seluruh Indonesia ini akan membuat pembaca menjadi ‘gila’ baca dan juga ‘gila’ menulis. Disajikan dengan bahasa sederhana  yang sangat nikmat untuk ditelusuri dari awal sampai akhir.

Buku yang diterbitkan oleh Youth Publisher - Yogyakarta- ini akan membuat pembaca berteriak “aha!” dan kemudian mengikuti jejak para pendahulu umat ini: mencetak sejarah dengan pena. Merubah dunia dengan karya. Salam kemuliaan menulis. Maka, menulislah! Atau kita tidak akan pernah ditulis oleh sejarah. (n usman alfarisi)

dimuat di Harian Medan Bisnis ( http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/11/13/66124/menulis_mencetak_sejarah/#.TsBm8nIsTEQ )

Selasa, 08 November 2011

Romantisme Tarbiyah ( Sebuah Resensi )

dari Pecinta untuk yang Dicintainya...


Awalnya, aku buta agama. Kemudian Allah membimbingku untuk mengenal sebuah nama, Tarbiyah. Maknanya adalah pendidikan. Pendidikan dalam seluruh aspeknya. Bukan sekedar pendidikan formal di bangku sekolah yang hanya mengejar ijazah. Tarbiyah bukan pula formalitas kosong yang minim makna. Maka, Tarbiyah kumaknai sebagai pendidikan asasi untuk menemukan jati diri kita yang sebenarnya.

Setelah perkenalanku dengannya, dunia serasa indah adanya. Bagaimana tidak kawan? Aku semakin mengetahui eksistensi diriku. Dari mana aku berasal? Untuk apa aku dicipta? Dan bagaimana seharusnya kujalani kehidupan yang dianugerahkan ini? Semuanya kutemukan dalam tarbiyah. Belum lagi keberadaan insan-insan Tarbiyah yang selalu menginspirasi.

Ada seorang ibu dengan 13 orang anak luar biasanya, Sebuah keluarga dengan 10 mujahid pencinta Al Qur’an, Para lelaki parlente yang cinta masjid, Umahat anggun yang menjada diri dengan hijab syar’i, Pekerja kantoran yang taat sholat, Pelajar pas-pasan yang menghargai waktu, Dan Para kuli yang senantiasa bercita-cita menjejakkan kakinya di surga, serta aneka profil lainnya yang sungguh sayang jika dilewatkan tanpa makna.

Maka, mengenal tarbiyah adalah syukur yang tak bertepi. Ketika ukhuwah manis rasanya, ia lebih indah dari pelangi. Ia lebih hangat dari sang surya ketika dhuha, ia lebih sejuk dibanding mata air di tengah sahara. Dalam tarbiyah, ukhuwah adalah perekat yang kelak mengantarkan para pelakunya untuk reuni di surgaNya. Amiin.

Tarbiyah, membuat ukhuwah nampak luar biasa. Ia bukanlah basa basi tanpa arti. Ia benar-benar lahir dari lubuk yang paling dalam. Maka, meski mata tak pernah bersitatap, meski raga tak kunjung jua berjumpa, para pelaku Tarbiyah senantiasa berpelukan hatinya. Berpelukan dalam taqwa, berpelukan dalam rangka mencintaNya.

Bagi anda yang belum kenal Tarbiyah, buku ini, mudah-mudahan, menjadi salah satu  sarana untuk memasukinya. Sebuah buku yang ditulis dengan rasa Cinta. Buku yang lahir ketika rindu berada di puncaknya. Buku yang setidaknya mengajarkan sebuah makna : Bahwa tarbiyah Indah karena cinta tulus para pelakunya.

Buku yang ditulis oleh 43 pelaku tarbiyah dari seluruh penjuru negeri ini, merupakan sebuah karya yang lahir dari rahim Tarbiyah. Ia merupakan hasil dari kegundahan yang tak bertepi. Kegundahan asasi bahwa Tarbiyah adalah Karya. Semoga dari buku ini, kita makin berubah dengan Tarbiyah.

Buku ini, merupakan nyanyian cinta dari para binaan kepada pembinanya. Nyanyian rindu dari para santri kepada ustadznya. Lebih jauh, buku ini adalah doa tulus bagi sesama pejuang kebaikan, agar ia istiqomah hingga penghujung usia pelakunya.

Buku yang diterbitkan bulan Juli ini, terasa lebih bermakna, karena para coordinator naskah telah berdarah-darah hingga buku ini selamat ‘persalinannya’. Semoga Allah memberi balasan terbaik atas semua yang telah dikorbankan. Semoga Allah membalas lunas kepada semua insan yang telah menebarkan kebaikan. Semoga Allah mmeberi ganjaran tunai kepada siapa yang telah berhasil Merahmatkan Islam bagi semesta Raya.

Salam Tarbiyah !!! Semoga negeri ini menjadi lebih berkah karena benarnya Tarbiyah. Tarbiyah yang orientasinya adalah Dakwah, meninggikan kalimatNya. Bukan sekedar banyaknya suara untuk memenangkan kursi sebanyak-banyaknya …


Mari, Rubah diri dengan Tarbiyah… kemudian bersama menikmati tarbiyah. Karena Tarbiyah, Dunia ini indah adanya. Karena Tarbiyah, Akhiratpun terasa dekat, meski fisik masih di dunia. Maka, merugilah bagi mereka yang tidak mau mentarbiyah diri, dalam berbagai macam maknanya…

Allahu Yarham Ustadz Rahmat Abdullah. Semoga Allah lapangkan kubur Beliau.
Allahu Yarham Ustadzah Yoyoh Yusroh, Semoga Allah terima semua amal Shalih Beliau, Amiin.

dimuat di : http://www.dakwatuna.com/2011/09/14400/surat-cinta-untuk-murobbi/

Dengan Sabar dan Shalat.

Al Qur'an ibarat mata air yang tidak pernah kering. Ia merupakan sumber kehidupan yang selalu segar. Kapanpun kita mau, kita bisa serta merta mengambilnya. Bahkan, kita bisa senantiasa menyeertakannya dalam tiap jenak kehidupan kita. Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah sebagai Al Qur'an berjalan. yaitu pribadi-pribadi yang sellau menjadikan Al Qur'an sebagai pijakan dalam bersikap.

Ada 3 ayat yang disebutkan secara beruntun dalam Surat Al Baqoroh. yaitu ayat terkaid dakwah, dan cara yang harus kita tempuh agar tidak lelah di dalamnya. Ayat tersebut adalah ayat 44-46. Ayat ini dimulai dengan kalimat, “ Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”  Ini adalah kalimat yang terdapat dalam ayat 44. Sebuah teguran dari Allah Subhanahu Wa Ta’alaa kepada ahli KItab, Yahudi dan Nasrani. Teguran yang maknanya gugatan. Ya, Allah menggugat mereka. Gugatan itu terjadi karena laku yang tak bersesuain dengan kata. Pasalnya, para ahli kitab menyeru kepada pengikutnya untuk masuk islam, melakukan perintah Allah, sementara mereka sendiri tidak menjalankannya.

Dalam ayat sebelumnya, ahli kitab telah dilarang oleh Allah agar mereka tidak menjual ajaran Agama Allah dengan nilai yang sedikit, “ dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.”  Ayat  41 ini, kemudian diikuti dengan perintah agar Ahli Kitab hanya bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaa.

Ketika kita telusuri lebih jauh, ternyata kalangan mereka termasuk yang menuruti hawa nafsu. Dimana fatwa mereka , ajaran mereka, bukan murni karena Allah. Melainkan sesuai pesanan pihak yang berkuasa, juga disesuaikan dengan apa yang mereka kehendaki. Wajarlah jika kemudian mereka mendakwahkan sesuatu yang tidak mereka lakukan. Perbuatan ini, langsung ditegur oleh Allah dengan turunnya ayat 44 surat Al-Baqoroh tersebut di atas.

Sayyid Qutb menerangkan, bahwa ayat ini secara khusus memang menyinggung ahli kitab. Namun, jangkauan ayat ini sangatlah luas dan berlaku untuk kaum muslimin dan para juru dakwah hingga akhir zaman. Dimana sebelum berdakwah, kita ditutuntut untuk melakukan apa yang akan kita sampaikan. Sehingga kita tidak akan dikenai murka dari Allah. FirmanNya dalam surat Ash Shof ayat 3 ,”  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Dua ayat ini hendaknya membuat kita tunduk sehingga kita akan mendakwahkan apa yang telah kita lakukan. Jika tidak? Maka tunggulah datangnya janji Allah itu.

Mudahkah melakukan apa yang kita katakan? Tentunya tak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan sangat susah sekali. Karena kata memang lebih muda dari laku. Untuk berkata, kita cukup membuka rahang dan kemudian menggerakkan lidah untuk mengucapkan apa yang kita kehendaki. Tentunya, dengan ijin Allah. Namun, untuk menepati apa yang kita lakukan, sangatlah dibutuhkan perjuangan untuk melakukannya. Mari katakan, “ Besok kita akan tahajud dengan bacaan 1 juz.” Ternyata, esoknya banyak sekali aral dan rintangan yang menghadang. Ini merupakan salah satu bentuk ujian keimanan untuk kita. Karena pahala yang besar tidak mungkin diperoleh dengan pengorbanan yang sedikit. Maka, totalitas adalah keniscayaan.

Allah adalah Maha Mengetahui, Dia tidak mungkin menyuruh kita tanpa fasilitas. Perintahnya yang sulit itu, ternyata dilanjutkan dengan kiat yang mesti kita lakukan. Ya, pada ayat berikutnya, Allah memberikan kiat kepada kita agar bisa melakukan apa yang telah kita dakwahkan. Allah mengajari kita agar kita bisa menepati setiap kekata kebaikan yang terlanjur meluncur dari mulut kita. Apakah kiat dari Allah itu?

“ Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',” inilah dua kiat itu : Sabar dan Sholat. Dua kiat inilah yang akan memudahkan kita untuk melakukan apa yang telah kita katakan. Agar Allah tidak menurunkan murkaNya karena ketidak tepatan dakwah yang kita galakkan.

Sabar maknanya adalah menahan. Sebagaimana Puasa yang dimaknai sebagai setengah kesabaran, karena ketika puasa kita diwajibakan untuk menahan makan, minum dan melakukan hal-hal yang membatalkan puasa kita.
Para Ulama’ membagi sabar dalam 3 jenis. Yaitu Sabar dalam melaksanakan perintah Allah, Sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah dan Sabar dalam menerima musibah. Sabar yang tertinggi adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan.  Kita semua faham, bahwa setan senatiasa menggoda agar kita tergelincir. Ketergelinciran itu kita dapati manakala kita mengingkari apa yang diperintahkanNya. Oleh karena itu, sabar dalam tahap ini adalah yang paling agung pahalanya. Karena untuk melakukan ketaatan sepanjang hidup, susahnya bukan main.

Pastilah susah untuk membiasakan pergi ke masjid ketika adzan berkumandang. Apalagi untuk merutinkan membaca Qur’an barang satu atau dua juz setiap hari. Belum lagi mendawamkan diri untuk terus melakukan shalat dhuha. Pasalnya, ketika dhuha’ itu adalah waktu yang enak untuk ngobrol sebelum kerja. Belum lagi susahnya untuk melangkahkan kaki ketika ada undangan kajian, bangun di tengah malam ketika yang lain tertidur dalam kehangatan kasur atau pasangan hidup dan seterusnya. Terlebih untuk sekedar berbagi nikmat dengan pengemis yang lewat atau tetangga yang memang kurang berpunya harta. Ini semua, pastilah membutuhkan kesabaran yang baja.

Setelah sabar, Allah menyebutkan Sholat sebagai salah satu sarana minta tolong agar kita mampu menepati apa yang kita katakan. Lebih jauh, Shalat juga merupakan sarana untuk minta tolong atas semua masalah yang kita hadapi.
Rasulullah sebagai teladan terbaik, seringkali meminta bilal untuk adzan dengan bahasa, “ Istirahatkan kami dengan sholat ya Bilal.” Dalam riwayat lain, beliau juga berkali kali meyebutkan bahwa shalat bisa menolong pelakunya dari keterbelitan masalah kehidupan. Ini sangatlah bisa difahami, karena shalat adalah sarana untuk menghubungkan kita dengan Allah sebagai Solusi atas setiap masalah kita.

Dalam sebuah riwayat, sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa Ibnu Mas’ud tengah berbaring sembari memegangi perutnya. Nabi yang melihat itu kemudian bertanya, “ Wahai Ibnu Mas’ud, apakah perutmu sakit?” jawab Ibnu mas’ud jujur, “ Ya Nabi. Perutku sakit.” Rasul kemudian menjawab, “ Dirikanlah Sholat karena sholat adalah obat bagi penyakit.”

Dalam realita kekinian, apa yang disabdakan oleh nabi itu benar adanya. Dimana shalat tahajud yang terus menerus kita lakukan merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Kok Bisa? Dalam dunia kedokteran, disebutkan bahwa penyakit yang menyerang tubuh kita, aksi paling dahsyatnya terjadi ketika berada di penghujung malam. Ketika itu tubuh dalam keadaan yang sangat lemah karena pulas tertidur. Ketika waktu itu kita gunakan untuk bangun dan sholat, maka tubuh kita melaksanakan gerakan-gerakan sholat yang fungsinya juga untuk menyehatkan tubuh sehingga aksi penyakit kala itu jadi melemah lantaran adanya perlawanan dari tubuh yang diserang.

Dalam buku Terapi Shalat Tahajud, dimana buku tersebut ditulis dari hasil sebuah penelitian terkait pengaruh kesehatan bagi pelaku shlat Tahajud yang menderita berbagai penyakit. Buku tersebut menyebutkan bahwa Tahajud yang dilakukan secara rutin, 11 rokaat tepat di jam 3 dini hari selama 40 hari, Insya Allah bisa menyembuhkan penyakit jantung dan penyakit yang berbahaya lainnya. Ini adalah fakta yang memang Allah ciptakan. Karena kedekatan denganNya, hasilnya hanya satu : keuntungan dunia dan kebahagiaan akhirat.

Setelah sabar dan sholat yang kita lakukan, maka Allah pasti menolong kita dalam setiap persoalan yang mampir. Lantas, mudahkah untuk melakukan keduanya? Ternyata jawabannya, “ Sesungguhnya Sabar dan sholat itu Berat kecuali bagi orang-orang yang Khusyu’.

Ya. Hanya khusyu’ yang membuat kita mudah untuk bersabar dan mendirikan sholat.

Khusyu’ maknanya dalah ketenangan hati dalam segala hal. Baik ketika sholat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Khusyu’ bukanlah perbuatan fisik, karenanya ia tidak dapat dinilai oleh manusia. Khusyu’ bukan pula berjalan menunduk, shalat sambil memejamkan mata atau aneka perbuatan yang dimaknai khusyu’. Sekali lagi, Khusyu’ adalah perbuatan hati yang pancarannya termanifestasikan dalam laku. Maka, Nabi adalah orang yang paling khusyu’ dan peri kehidupan beliau merupakan bukti dari kekhusyu’annya.

Permasalahan berikutnya adalah susahnya untuk Khusyu’. Tapi, jangan khawatir. Lagi-lagi Allah sangat meyayangi kita. Ternyata formula agar khusyu’ sudah Allah sertakan dalam Al Qur’an untuk kita praktekan. Agar Khusyu’, kita harus mempraktekan dua hal ini, “ (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”  Yakin akan pertemuan dengan Allah dan yakin bahwa kita akan kembali kepadaNya.

Maka, khusyu’ akan kita peroleh manakala kita benar- benar mengahayati sebuah fakta bahwa di sini, di dunia ini, kita hanyalah mampir. Setelah ini, kita akan kembali kepada sang pencipta untuk mempertanggungjawabkan semua yang kita perbuat. Kesadaran seperti inilah yang akan mebuat kita sungguh-sungguh dan selalu melakukan perhitungan yang cermat sebelum mengatakan atau melakukan sesuatu. Sehingga kita akan menepati setiap yang kita ucapkan. Karena kita akan dimintai pertanggungjawbakan atas semuanya. Termasuk, apakah kita menepati yang kita katakan atau justru sebaliknya?

Kawan, Allah adalah Maha Penolong. PetolonganNya sungguhlah dekat. Sedekat kita mendekatiNya. Maka, sepelik appaun masalahnya, serumit apapun persoalannya, mari dekati Allah. Rayu Ia agar berkehendak menolong kita. Jangan pernah merasa sendiri, karena Allah akan menolong kita ketika kita menolong agamaNya.

Syahidnya Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu



Kisah ini saya tulis untuk mengingatkan kita. Bahwa hidup yang kita jalani pastilah berakhir pada kematian. Kematian yang merupakan gerbang menuju kehidupan yang lebih abadi : Akhirat.

Banyak cara menuju mati. Kebanyakannya ditentukan oleh kebiasaan sehari-hari waktu hidup. Maka jangan heran jika mendengar pelacur mati ketika berzina. Atau pemain sepakbola yang mendadak dijemput izroil ketika sedang mengejar-ngejar kulit bundar. Pun, seorang sholih yang dipanggil Allah dalam ruku’, sujud atau tindak ketaatan lain karena memang semasa hidupnya orang ini terbiasa berada dalam ketataatan dan ketundukan kepada Allah.

Meskipun begitu, kita juga disuguhi sebuah fenomena berkebalikan. Misalnya orang sholih yang mati dalam kekufuran atau orang fajir yang meninggal dalam keadaan ketaatan. Jika ini yang terjadi, maka ini adalah pengecualian. Allah berkehendak membuat pelajaran bagi kita, bahwa iman yang ada haruslah dijaga terus hingga ajal menjemput. FirmanNya, “ Bertaqwalah kepada Allah dengan taqwa yang sebenar-benarnya dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan muslim ( berserah diri kepada Allah ).”

Jika yang terjadi adalah orang fajir mati dalam keadaan taat, maka maknanya bahwa kita tidak boleh mevonis seseorang. Karena hidup bisa berubah sewaktu-waktu sesuai kehendakNya, juga lantaran upaya yang kita lakukan. Hal ini, jika kita lakukan akan membuat hidup ini berjalan pada relnya. Agar kita tidak merasa benar sendiri dan juga tidak sombong. Sekali lagi, karena ketika kita masih hidup, semuanya bisa berbolak-balik sesuai apa yang Allah kehendaki.
Tentunya, kita semuanya berharap agar kita bisa menjumpai maut dalam keadaan terbaik : Khusnul Khotimah.

Kisah yang akan saya sajikan juga bermakna demikian : Bahwa pembawa kebenaran, pembela panji-panji Allah seringkali menghadapi uji dan coba yang tidak ringan. Mereka harus siap dengan segala macam intimidasi, makar dan seterusnya. Dimana mereka tidak hanya mengorbankan waktu, kesempatan maupun harta mereka, melainkan juga nyawa. Ya. Dalam memperjuangkan kebenaran, seringkali kita harus mengorbankan nyawa yang memang hanya satu ini.

Berikut kisahnya, selamat membaca !!

Sebelum wafatnya, Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib. Kata Nabi, “ Kamu ( Ali ) tidak akan mati melainkan dalam keadaan jenggotmu bersimbah darah.” Ali yang sangat mempercayai nabi itu hanya tersenyum. Senyumannya itu bermakna bangga. Karena sabda nabi itu bermakna bahwa Ali akan menjemput maut dalam keadaan Syahid- memperjuangkan Agama Allah.

Bermula dari syahidnya Sayyidina Utsman bin Affan yang ditikam ketika sedang bertilawah, prahara yang menggunjang peradaban islam itupun semakin menjadi-jadi. Maka, setelah beliau dimakamkan, para sahabat berselisih faham. Ada yang mengusulkan untuk memberikan Qishash kepada pemberontak, adapula yang mendesak agar segera dilantik Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah penerus Utsman – khalifah ke-empat. Atas persetujuan para Ahli Badar yang masih hidup, maka Ali-pun dilantik menjadi khalifah. Ketika itu bertempat di masjid.

Selama menjabat, kepemimpinan Ali tidak pernah sepi dari makar. Makar ini bersumber dari si munafik, na’udzubillahi min dzalik, Abdullah bin Saba’. Isu yang ia gulirkan masih seputar kebatilan pemerintahan Ali. Hingga puncaknya terjadilah perang Jamal dan perang Shiffin-perang saudara dalam sejarah kecemerlangan Islam. Ulama’ salaf bersepakat untuk tidak membicarakan perang ini lebih jauh, karena hanya akan menambah fitnah. Pasalnya,meski para sahabat Radhiyallahu ‘Anhum saling beradu senjata, tapi hati mereka senantiasa bersatu padu dalam ketataan pada Allah, hati mereka sennatiasa berpelukan dalam kecintaan kepada Penciptanya. Mereka masih satu payung dalam mengakkan ajaran islam itu sendiri.

Hal ini bisa dibuktikan dari sebuah riwayat berikut. Ketika itu, Ali didatangi oleh seseorang yang tiba-tiba bertanya, “ Wahai Khalifah, Apakah orang-orang yang memberontak pemerintahanmu sekarang adalah orang musyrik?” Jawab Ali tenang, “ Bukan. Mereka dalah orang yang lari dari kesyirikan.” Karena tidak puas, orang tersebut melanjutkan tanyanya, “ Apakah mereka ( para pemberontak ) adalah orang-orang munafik?” dengan ketenangan yang tak berkurang dari sebelumnya, Ali menjawab tegas, “ Bukan. Karena orang munafik itu sangat sedikit sekali menyebut Allah.” Orang itupun kembali bertanya, “ Lalu, siapa mereka?” jawab Ali mengakhiri, “ Mereka adalah orang beriman yang tidak sependapat denganku.”

Sebuah jawaban yang sangat bijak. Potret sejati kepemimpina dalam Islam. Jika saja yang ditanya bukan Ali, jawabannya pasti akan sangat berlainan. Apalagi ketika kekuasaan telah ditangannya.

Abdullah bin Saba’ sebagai gembong teroris ( baca ; munafik ), tidak berhenti menyebarkan fitnah. Sampai kemudian datanglah seorang khawarij bernama Abdullah bin Muljam. Diriwayatkan, ada seorang wanita khawarij yang dilamar oleh Abdullah bin Muljam. Wanita tersebut meminta mahar berupa kepala Sang Khalifah - Ali bin Abi Thalib. Maka, ia bergegas untuk mengasah pedangnya selama 40 malam. Sebuah niat keji yang sudah direncanakan dengan sangat baik.
Ketika masa 40 hari itu telah selesai, tibalah malam prahara itu. Malam prahara yang kelak mengantarkan sang khalifah kepada kesyahidan. Malam itu adalah malam 17 Ramadhan.

Seperti biasanya, Sang Khalifah menghabiskan malam dalam ketaatan. Tahajud, dzikir dan muhasabah. Ketika fajar telah menyingsing, beliau keluar rumah. Ketika keluar rumah, beliau mendengar suara gaduh, kokok ayam yang tidak seperti biasanya. Lalu, dengan ketajaman basyirahnya, beliau berkata kepada ayam-ayam tersebut, “Sesungguhnya aku akan menjemput syahid.”

Seketika itu juga, sebuah sabetan pedang menimpa tubuh kekar Sang Khalifah. Sebanyak tiga kali. Sehingga darah benar- benar membasahi sekujur tubuh beliau, sampai jenggot beliaupun berwarana merah karena darah yang membasahi.

Para sahabatpun bergegas menuju kegaduhan itu, maka di amankanlah Sang Khalifah menuju rumahnya, sementara sang pembunuh keji itu diringkus. Ketika melihat jenggotnya bersimbah darah, Sang Khalifah tersenyum sambil berkata, “ Wahai Nabi, janjimu sungguh benar.” Ia mengatakan itu karena teringat dengan sabda nabi ketika beliau masih hidup.
Maka, dihadapkanlah sang pembunuh kepada Ali. Dengan suara kejamnya, sang pembunuh berkata, “Aku telah mengasah pedangku selama 40 hari untuk membunuhmu. Dan aku benar-banar telah melakukannya.” Dengan senyum khasnya, sambil menahan sakit karena tebasan pedang, Ali menjawab santai, “ Sesungguhnya, pedang itu tidak membunuhku. Karena kematianku bukan lantaran bacokan pedangmu. Pedang yang telah kau asah itu akan membunuh pengasahnya sendiri.”

Khalifah Ali-pun berkata kepada para sahabat yang hadir,” Jika Aku hidup setelah kejadian ini, maka biarkan dia – Abdullah bin Muljam – hidup. Namun, jika Aku mati, maka qishashlah ia dengan pedangnya sendiri.”
Dua hari setelah malam prahara itu, Sang Khalifah terbang. Beliau menemui tiga kekasihnya yang telah lama mendahuluinya : Rasulullah, Abu Bakar Ash Shidiq, Umar Bin Khattab dan Utsman bin Affan. Beliau benar-benar menjemput kematian dengan cara yang terindah : Syahid.

Ali bin Abi Thalib, adalah pribadi agung. Ia adalah yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak. Ali adalah menantu Nabi. Bahkan, ketika Abu Bakar, Umar dan Utsman melamar Fathimah-anak nabi-, beliau menolak ke-tiganya karena nabi ingin menikahkan Fathimah dengan Ali. Nabi adalah gudang ilmu, sementara Ali adalah pintu gerbang untuk memasuki gudang tersebut. Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda, “ Siapa yang memusuhi Ali, maka ia telah memusuhiku. Dan barangsiapa mencintai Ali, maka ia mencintaiku juga.”

Dalam perjalanan kehidupan berislam, kita mendapati dua golongan yang bertolak belakang dalam menyikapi Ali. Ada yang mengagungkan Ali secara membabi buta, golongan ini adalah Syi’ah. Adapula golongan yang sangat membenci Ali secara berlebihan yaitu Khawarij. Maka, yang terbaik adalah golongan Ahlussunah Wa Jama’ah : Yang menempatkan Ali sesuai kapasitasnya. Sebagai Sahabat Nabi dan Khalifah ke-empat umat ini dengan segala kelebihan juga kekurangannya sebagai manusia biasa.

Sang Khalifah telah pergi dengan segala kemuliaannya. Semoga kita diberi kemudahan dalam meneladaninya, semoga kita bisa menapaki jejak kebaikannya, semampu kita. Semoga Kita bisa menjemput maut dalam keadaan terbaik sebagai syuhada’. Bagaimanapun caranya, terserah Allah.

“ Amiitna ‘alaa syahadati fii sabilik, Innaka ni’mal maula wa ni’man nashiir. Matikan kami dalam syahid di jalanMu. Engkaulah Maha Pelindung dan Maha Pembela.”

Hajja Syahidah


Pagi itu, kami dibuat kagum dengan sesook senja yang bersemangat pagi. Kami berhasil dibuatnya ketinggalan ketika mendatangi masjid saat hendak subuh berjama’ah, kami kalah cepat dalam mengikuti beliau yang menunjuki kami arah ke mushola terdekat. Memang, kami adalah pendatang baru di rumahnya. Karena kegiatan yang mengharuskan kami transit di sebuah rumah tua bernuansa muda itu. Letaknya tidak jauh dari kuburan dan di antara dua mushola. Ketika keluar rumah, kita akan mendapati sebuah pemandangan hijau yang menyejukkan, hamparan padi.Pada perjumpaan pertama itu, saya langsung menyimpulkan : Sepertinya beliaulah salah satu sosok yang dirindukan surga. Insya Allah,Amiin.


Waktu dan kesempatan kemudian semakin mendekatkan saya dengan beliau. Meski tidak terlalu sering, perjumpaan dengan beliau pasti membuat kesan mendalam dalam diri. Terutama dalam hal pengalaman hidup. Beliau hanya lulusan SR ( Sekolah jaman belanda setingkat SD), tapi ilmu kehidupannya sudah setara dengan lulusan S3, Doktor. Maka, beliau adalah salah satu sosok yang saya masukkan ke dalam daftar Guru Kehidupan.


Yang paling khas dari beliau adalah nasehat. Ya, beliau sangat sering meberi nasehat. Nasehat yang diberikan bukan sekedar retorika minim makna. Nasehat yang beliau sampaikan adalah hikmah yang sarat arti. Beliau menasehatkan apa-apa yang telah dijalankannya. Sebelum menjadikan kalimatnya itu sebagai nasehat, beliau telah mengejawantahkannya menjadi laku. Dalam bahasa iklan, beliau termasuk kategori : Talk Less Do More, sedikit berkata banyak berkarya.


Lantas, siapakah sebenarnya beliau?


Sebut saja beliau dengan Bu Hajja Syahidah ( bukan nama asli ). Usianya, sepertinya sudah 70 atau 80 tahunan. Beliau termasuk aktivis di kampungnya. Tercatat sebagai ketua Muslimat NU Ranting. Dan selalu aktif di kegiatan keagamaan islam di desanya yang asri iru. Yang paling luar biasa adalah : Beliau merupakan ibu dari 8 anak berprestasi.
Dua kali beliau menikah. Beliau cerai dengan suami pertama. Beliau pula yang menanggung semua biaya hidup ke-6 anak tinggalan suaminya. Dari sinilah keluarbiasaan beliau mulai menampakkan wujudnya. Dengan bantuan dari Allah melalui keluarganya, beliau berhasil mencemerlangkan ke-6 anaknya tersebut hingga menuju gerbang kesuksesan.


Di tengah perjalanan kesendirian beliau dalam mendidik anak-anaknya itu, datanglah seorang pangeran yang meminang beliau. Seorang Guru Agama yang sholih. Dari pernikahan keduanya ini, beliau dikarunia dua bidadari, Insya Allah. Bidadari pertamanya telah lulus sebagai Sarjana Tehnik Pendidikan di  salah satu Universitas ternama di Kota Semarang dan sekarang mengajar di sebuah sekolah alam yang bernuansa islami. Sedangkan bidadari keduanya adalah calon hafidzah yang sedang menyelesaikan kuliah di salah satu universitas ternama di Negeri ini.


Suami kedua beliau juga tidak berumur panjang. Setelah perginya suami kedua, beliau kembali menjalani kesendirian dalam mendidik. Bukan lagi 6 orang melainkan 8 orang anak. Anak pertama, kedua, dan ketiga laki-laki. Keempat perempuan, kelima dan keenam laki-laki. Ketujuh dan kedelapan bidadari. Hehehe.


Mari sejenak bayangkan, betapa repotnya mendidik 8 anak sendirian? Tanpa didampingi suami yang selayaknya membersamai dalam setiap langkah kehidupan? Ah, jika membayangkan saja susah apalagi menjalaninya?
Terkait anak-anaknya, saya tidak banyak tahu. Meski beliau sering kali bercerita terkait permata hatinya itu. Intinya, semua anaknya ini memang tergolong istimewa, menurut saya. Semuanya sudah mandiri dan tersebar di berbagai penjuru kota. Sebagian besarnya juga lulusan Strata Satu. Ada 3 yang menetap di daerah asal beliau tinggal. Kemudian di Solo, Depok, Jakarta dan Semarang.


Inilah realita, dimana semua anaknya harus merantau karena bekerja, beliau kembali menjalani kesendiriannya. Ya, beliau sering berkata, “ Teman saya itu Allah dan Ibu saya mas. Karena anak-anak sudah punya kehidupan sendiri. Saya hanya mendoakan semoga mereka bisa menjadi anak yang berguna bagi Allah, Rasulullah juga sesama. Makanya, momen yang paling saya rindukan adalah Idul Fitri. Semuanya pulang. Rumah ini jade rame, ribut dan semarak. Ada anak, menantu dan juga cucu. Kalau boleh minta, pinginnya setiap bulan Idul Fitri.” Tutur beliau renyah.


Beliau adalah pribadi yang mudah bergaul, berwawasan luas dan tentunya sholikhah. Beliau juga bermental baja, tak takut sinar surya dan suka bergelut dengan lumpur sawah. Jika sesekali silaturahim ke rumahnya, jangan heran! Bisa jadi beliau tengah sibuk memotong kayu untuk dijadikan bahan bakar yang ukuran kayunya besar, atau baru saja pulang dari sawah. Ya, usia senja benar-benar tidak menghalangi beliau untuk bergerak dan terus berkaya. Dari beliau saya belajar : jangan berhenti melangkah hingga ajal menyapa.


Terkait keseharian beliau, jangan ragukan lagi. Beliau adalah langganan Tahajud. Bahkan beliau pernah menuturkan, “ Kalau sudah tua memang harus rajin mendekat kepada Allah Mas. Karena ajal sudah dekat. Alhamdulillah, hampir setiap hari saya menjalankan tahajud, dilanjut sholat sunnah fajar dan kemudian keluar rumah menuju masjid untuk Subuh berjama’ah. “ Beliau melanjutkan, “ Tapi ini bukan pamer. Hanya cerita agar mas termotivasi. Hehehe.” Ketika materi ini yang beliau sampaikan, wajah saya langsung berwarna merah muda : Malu.


Jika berdiskusi dengan beliau, kita tak mungkin kehabisan ide. Beliau hampir tahu setiap peristiwa nasional yang terjadi. Mulai BBM naik, kandidat Pilpres, bahkan buku-buku terbaru yang beredarpun beliau faham. Kau tahu asal muasalnya saya membaca Novel Negeri 5 Menara karangan Ahmad Fuadi? Beliaulah penyebabnya. Ketika silaturahim ke rumahnya, beliau bertanya, “ Sudah baca Negeri 5 Menara Mas?” Dengan malu saya menjawab, “ Belum Bu.” Apa  jawaban beliau, “ kalau ada rejeki beli ya! Saya sudah membacanya. Bagus sekali. Baik buat motivasi.” Langsung saja, sesampainya saya di Depok, Allah memberikan novel itu lantaran seorang teman sehingga sayapun melahapnya sampai ludes.


Bukan hanya itu, kami pernah berdiskusi tentang Ayat – Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi dan novel-novel best seller lainnya.


Nampaknya, cerita saja sudah terlalu panjang. Saya akhiri saja dengan nasehat beliau, ketika saya mengunjunginya bulan Mei lalu, “ Gapailah Mimpimu setinggi mungkin. Sesuaikan dengan kemampuan. Jangan ketinggian. Agar ketika jatuh, kau tidak merasakan sakit yang berlebih.” Nasehat itu kemudian saya lanjutkan,dalam hati,  “ Jika mampu menggapai langit ketujuh? Mengapa harus puas dengan langit pertama?”


Beliau telah memberikan kita contoh. Bahwa hidup harus terus dilanjutkan. Apapun alasannya. Apalagi sebagai seorang beriman yang menjadikan hidup sebagai perburuan bekal untuk kehidupan akhirat yang lebih abadi. Maka, beruntunglah beliau dan orang-orag semisalnya. Semoga Allah memberi keistiqomahan kepada beliau, dan kita semua. Hingga ajal menjemput. Amiin.


Maka, Beliau adalah wanita dengan berjuta pesona. Semoga Allah telah menyiapkan pengeran di surga sebagai hadiah untuknya. Amiin.

Iftitah

Bismillahirrohmanirrohiim.
Assalamu’alaikum ikhwah fillah …


Pagi ini, kita akan sedikit berdiskusi tentang Hidup. Hidup yang terkadang tidak seperti apa yang kita inginkan. Ketika mimpi mimpi kita, tak seperti yang Allah kehendaki untuk kita. Jika memang faktanya seperti itu, maka saya katakan,“ Sebaiknya, kita memang harus pandai-pandai berdamai dengan takdir.”

Ingat kawan ! Jangan salah artikan “berdamai dengan takdir” sebagai sebuah bentuk kepasrahan total, tanpa upaya sedikitpun.“Berdamai dengan takdir” adalah menerima dengan lapang dada, dengan keikhlasan terbaik , setiap apa yang Allah berikan, setelah kita habis-habisan berjuang. Tentunya, hal ini kita lakukan karena kita sadar sepenuhnya, bahwa Allah Maha Mengetahui mana yang terbaik untuk kehidupan kita, baik kehidupan dunia terlebih lagi akhirat.

Islam mengajarkan kepada kita untuk ikhtiar. Tetangga sebelah sering menyebut ikhtiar dengan sebuah istilah yang menggelitik, “ memeras Keringat, Membanting Tulang.” Ini sebuah ungkapan sederhana yang sarat makna. Dan memang seperti itulah ikhtiar, kita lakukan sesuatu, apa yang kita ingini, dengan kemampuan terbaik yang kita miliki. Bukan ragu-ragu, bukan setengah jadi, melainkan TOTALITAS. Ini pula yang disebut dengan “ Profesional” oleh mereka yang berbaju rapi dan berjas setiap hari, Kaum kantoran. Sedangkan kalangan menengah sering menyebutnya dengan KERJA KERAS.

Sahabat sekalian, Allah adalah pencipta kita. Ia pasti Maha Tahu tentang seluk beluk kehidupan kita. Begitupun, dengan apa yang terbaik untuk kita. Oleh karenanya, yang pertama kali harus kita lakukan ketika “INGIN” kita tak bersesuaian dengan “Apa yang kita terima”, maka yang harus dilakukan adalah SADAR. Menyadari dengan sebenar-benarnya, bahwa hal itu bukanlah yang terbaik untuk diri dan kehidupan kita. Walaupun, kita sangat menginginkannya. Maha benar Allah dengan apa yang difirmankanNya dalam Surat Al Baqoroh ayat 216 : Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.


Konteks ayat ini memang sangat terkait dengan Perang di Jalan Allah. Melawan kafirin, munafiqin dengan seluruh mampu, dengan semua yang kita miliki sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah, sebagai bentuk kepatuhan seutuhnya kepada Sang maha Pencipta. Siapapun, tidak menyukai peperangan, begitupun kaum mukminin kala itu. Karena Damai itu Indah. Namun, ketika kita diperangi, ketika harga diri kita diinjak – injak, ketika martabat  kita tidak dihiraukan, dan mereka nyata-nyata memerangi Kita, maka kitapun harus “MEMERANGI” mereka, meskipun kita tidak menyukai peperangan itu.

Begitupun, ketika Kita menginginkan sesuatu yang menurut kita baik, kemudian sesuatu itu terlepas, yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa sesuatu itu BUKAN yang terbaik untuk kita. Sembari terus berharap dan berusaha agar Allah memberikan ganti yang Terbaik, entah di dunia ini ataupun di akhirat kelak.

Persoalan yang timbul kemudian adalah , Susahnya Menyadari. Terkadang, teori memang mudah. Praktek tentulah tak semudah teori. Namun, tak ada salahnya kita megingat-ingat teori tersebut untuk kemudian mempraktekannya. “ Susah?”, “Iya.” Tapi susah bukan berarti TIDAK MUNGKIN. Ketika kita mencoba, Insya Allah kita Bisa, meskipun susah.


Sadar tentunya bukan akhir. Ia adalah awal yang kelak mempengaruhi langkah kita berikutnya. Ketika kesadaran akan kuasa Allah itu mendominasi,maka yang berikutnya harus kita lakukan adalah Instropeksi. Boleh jadi, yang menimpa kita sekarang adalah akibat dari dosa masa lalu kita. Disadari ataupun tidak. Oleh karenanya, instropeksi ini harus kita lakukan secara intens, terus menerus, dengan iringan istighfar tiada henti. Kelak, Allah akan menurunkan rahmatNya. Sehingga hati yang awalnya sempit, kelak menjadi lapang. Yang awalnya gelap, kelak berangsur terang. Yakinlah! Karena Allah maha Pengampun dan Pengabul Doa.

Instropeksi yang berlarut, bisa terjatuh pada meratapi nasib. Ini yang salah. Instropeksi haruslah berujung pada kesimpulan : Esok harus lebih baik. Ini yang terpenting. Maka, setelah instropeksi, kita harus menatap tegar ke depan. Karena jalan sukses bukanlah “Jalan itu” saja. Banyak jalan yang menanti untuk kita lewati. Bukalah mata, telinga dan hati. Ikuti bisikan nurani yang bersih dan kemudian melangkahlah, Dekati Allah agar Ia senantiasa membimbing kita. Agar Ia senantiasa meluruskan langkah-langkah bengkok kita. Agar Ia bisa kita rasakan keberadaannya, meskipun, kita merasa sendiri. Karena Ia, Selalu bersama Kita. Innalaha Ma’anaa …

Banyak cara yang kemudian bisa kita lakukan dalam tahap ini. Yang termudah setelah Istighfar habis-habisan, adalah Tilawah Qur’an. Bacalah Qur’an dari mana saja kita kehendaki. Dari poermulaan, pertengahan, atau surat terntentu yang memang ingin kita Tadaburi. Ambil Wudhu, cari moment yang tepat, sendirian. Eh maaf, BERDUA SAJA, Dengan Allah. Jadikan Ia dekat, sedekat janjinya, “ Faida sa’alaka ‘Ibadii ‘Anni.“ “Ketika hambaku bertanya dimanakah Aku?” demikian firman Allah dalam Surat Al Baqoroh. Maka jawablah, “Fainni Qoriib.” “ Sesungguhnya Aku ( Allah ) itu Dekat.” Ya sobat! Allah itu dekat. Tapi kita yang sering menjauh dariNya.

Demi Allah sobat, Al Qur’an akan memberikan jawaban dari setiap gundah. Dari setiap tanya kita yang tidak berujung. Ia akan membimbing kita, meskipun kita tidak tahu artinya. Ia benar-benar akan menjadi sahabat karib kita, ketika kita benar – benar mengakrabinya. Permasalah yang timbul kemudian adalah, “ Jangankan Akrab. Menyentuhnya saja jarang.” Naudzubillahi mindzalik.


Jangan pula Qur’an sekedar menjadi Bacaan. Jadikan ia pedoman. Ketika apa yang kita “INGINI” tidak Allah berikan, cobalah tadaburi surat Ibrohim dan surat An nahl. Di Surat Ibrohim ayat 34 disebutkan : Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). Kemudian An Nahl ayat 16 Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Shodaqollahul ‘adhiim. Maha benar Allah dengan segala firmanNya.

Dua ayat tersebut cukuplah jadi perenungan kita. Karena seringkali kita lupa ketika nikmat itu kita dapatkan, dan kita Selalu “Menggugat” manakala apa yang kita “INGINI” tidak terjadi. Padahal, yang kita ingini, tidak selalu baik untuk kehidupan kita.

Sobat, mari rekonstruksi pemikiran kita. Biarlah kemarin kita terjatuh. Karena memang allah menghendaki kita segera bangkit dan bergerak. Biarlah kemarin kita lelah, karena Allah Allah ingin agar kita menyejarah. Biarlah kaki ini perih, karena Allah ingin agar kita lebih GIGIH lagi dalam mendekatiNya. Karena Allah, hanya menghendaki kebaikan untuk kIta. Bukan sebaliknya.


Sebuah penutup, semoga membuat kita kembali tersadar, bahwa NIkmat Allah sungguh luas membentang. Maka, tak pantas kiranya jika hanya karena satu nikmat yang terlepas, kita berubah menjadi Pembangkang. Allah kembali mengingatkan , Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” ( Qs Ibrohim 14 : 7 )

Mari, Merayakan Syukur. Subhanallahi walhamdulillahi wa Laa Ilaha Illalllahu Wallahu Akbar Walillahil Hamd !!!
Semoga Allah melimpah ruahkan berkahNya, untuk kita semua.

Di siang penuh berkah, Jum’at 17 Jumadil Tsani 1432H / 20 Mei 2011.

Mbah Dati.


Tiba-tiba saja Saya teringat dengan nama itu. Sesosok wanita langit yang sudah senja usianya. Saya tidak tahu pasti berapa usia bilogisnya. Jika tidak salah tebak, beliau berkisar antara 70 sd 80 tahun. Sebuah usia yang sudah mencapai taraf ‘bonus”. Karena umat Rasulullah, rata–rata berada pada kisaran 60an tahun.

Apa yang menarik dari sosok beliau? Saya tidak banyak tahu juga. Mungkin, yang faham adalah para pemuda yang dulu sezaman dengannya. Sayangnya, generasi mereka sudah tidak banyak saya dapati. Bahkan, sang suami, Mbah Drakmin, sudah sakit-sakitan dan menghabiskan waktunya di ranjang, mengantri pangilan dari Izrail.



Sebenarnya, ada bebarapa wanita yang seusia dengan beliau - Mbah Dati. Sebut saja Mbah Tiyem dan Mbah Cublek. Namun, kedua nama ini juga tidak bisa saya mintai keterangan terkait pribadi Mbah Dati. Karena kedua sahabatnya ini, telah mendahului beliau. Ya, kedua sahabatnya itu telah dipanggil oleh Allah sekitar 2 sampai 3 tahun yang lalu. Maka, Mbah Dati adalah satu-satunya bidadari yang tersisa.



Jika sahabat sekalian melihat wanita ini, pastilah akan berkata, “ Biasa saja, tidak ada yang istimewa.” Apalagi ketika melihat sosoknya yang benar- benar senja. Jika mentari, maka ia berada pada posisi jam setengah enam sore, sebentar lagi terbenam. Jalannya sudah menunduk, pandangannya sudah samar, pun telinganya sudah sering ‘susah mendengar’. Ya, ketika melihat beliau seharusnya kita ingat, bahwa fisik yang dulu dibanggakan, setalah tua tinggalah cerita. Keriput menjalari diseluruh tubuh beliau.

Meski sudah senja, beliau ini memiliki semangat yang baja. Hal ini saya dapati sejak 4 tahun yang lalu, sebelum saya memutuskan untuk merantau, hingga sekarang. Hampir setiap kali saya mudik, beliau pasti datang ke rumah sebelum saya sempat mengunjunginya. Ya, saya hanya menemani beliau sesekali sepulang dari masjid ketika sholat subuh. Sambil berbincang menanyakan perihal suaminya yang tak kunjung ‘sembuh’.

Ketika beliau mencium ’bau’ saya, beliau membinarkan senyumnya sehingga nampak muda. Ya, setiap saya mudik dan menemui beliau, wajahnya selalu sumringah dan tertawa dengan kekeh yang menjadi-jadi. Jika krupuk, maka ini adalah krupuk yang paling renyah. Kemudian, saya menyambutnya dan mendudukannya di kursi depan gubuk kami. Lalu beliau menanyakan perihal kedatanganku, “ Kapan pulang? Bawa duit banyak ya ? Kapan nikah? Calonnya mana ? dan seterusnya.” Saya hanya menjawab dengan senyum dan sebuah kalimat, “Doakan saja Mbah.” Iapun membalas senyumku, dengan senyum termanis yang dia miliki.
Lantas, apa yang membuat beliau istimewa? Atau, barangkali ini tidak salah : Apa yang membuat saya istimewa di mata beliau? Hehehe.

Begini kisahnya.

Ketika saya masih di kampung, saat itu sekitar usia SMP. Masjid di kampung kami sangatlah sepi dari jama’ah. Hanya beberapa wanita jompo, dimana di dalamnya ada 3 bidadari itu : Mba’ Dati, Mbah Tiyem dan Mbah Cublek. Tiga bidadari ini, pasti ada ketika sholat berjama’ah. Mulai dhuhur, ashar, maghrib, isya’ bahkan subuh. Saya yang masih tahap belajar kala itu, seringkali datang terlambat. Dhuhur di sekolah, Ashar di sekolah juga, Maghrib terlambat karena main sepak bola, Isya’ terlambat karena bercanda, dan subuh kesiangan karena malam begadang. Bisa begadang karena belajar, begadang karena nonton bola, atau begadang karena nulis surat. Bukan surat cinta untuk pacar melainkan surat cinta untuk keluarga dirantau. Astaghfirullahal ‘Adhiim.

Ketika itu, saya diamanahi untuk membimbing ke-empat adik. Maka, nyarus tidak ada orang yang membangunkan ketika subuh. Nah, di saat seperti inilah, Mbah Dati datang denga pesonanya. Beliau datang dengan salam yang dikeraskan dan gedoran pintu yang membahana. “ Man, bangun Man! Sudah jam 4.30. masjid tidak ada yang adzan. Ayo Buruan! Kampung sebelah sudah hampir selesai sholat!” Sontak saja, saya terbangun kebingungan sambil mengeluarkan jurus ampuh agar beliau berhenti ‘meneriakkan’ ceramahnya, “ Ya Mbah, ini sudah bangun.” Astaghfirullah, padahal kala itu mata saya masih merem.

Dan setelahnya, saya beranjak untuk mengambil sarung untuk meluncur ke masjid. Ambil air wudhu, menabuh bedug, adzan, sholawatan sembari menunggu imam datang. Jika sampai 15an menit imam tak kunjung muncul, maka saya pasti didaulat oleh para ‘ bidadari ‘ itu untuk menajdi imam. Dan kala itu,menolak bukanlah sifat kesatria.
Satu lagi yang mebuat saya salut dengan Mbah Dati. Telinganya. Ya, organ itu yang membuat saya takjub bercampur bingung. Bingung karena kata orang, beliau itu tuli. Jika berbicara dengannya harus mendekat beberapa senti meter agar beliau mendengar. Itupun harus diiringi dengan suara Alto, jika suara yang digunakan Sopran, maka dipastikan, beliau tak bergeming. Namun, setiap kali adzan berkumandang, beliau langsung menyahut dengan memenuhi panggilan cintaNya. Ketika adzan berkumandang, tulinya sembuh.

Nah, ketika adzan lupa dikumandangkan oleh muadzin, maka beliau pasti ke rumah saya sembari marah-marah, “ Sudah masuk waktu sholat tapi kok belum adzan juga? Masih sibuk apa sich ?” dan ketika itu, sayapun langsung beranjak karena peringatannya.

Maka, dalam hal mendengar adzan, saya pastikan bahwa beliau tidak tuli.
Lalu, siapa sebenarnya yang tuli? Mbah Dati? Atau kita yang katanya mendengar? Pasalnya, Mbah Dati senatiasa menyambut seruan adzan, sedangkan kita? Tetap enjoy meski adzan telah selesai? Kita masih asyik dengan duniawi padahal Allah telah memanggil kita dengan panggilan cintaNya.

Ah, nampaknya kita harus berdoa agar Allah megampuni kelalaian kita. Semoga Allah tidak ‘menulikan’ kita. Semoga kita bisa benar- benar mendengar sehingga bisa segera menyambut seruan adzan, dalam keadaan bagaimanapun. Allah, Ampuni kekhilafan kami. Astaghfirullahal ‘adhiim.

Mbah Dati, sejatinya tidak tuli. Karena beliau selalu tepat waktu menyambut adzan, panggilan cintaNya. Maka, yang tuli adalah siapa yang tidak menyambut seruan Allah sebanyak 5 kali dalam sehari. Yang tuli, adalah mereka yang mengaku mendengar tapi tidak beranjak ke masjid ketika adzan bergema. Silahkan bertanya pada diri, apakah diri ini tuli? Mari mendengar, sebelum Allah ‘menulikan’ kita. Hayya ‘Alash-sholah !!! Hayya ‘alal Falah !!!