Al Qur'an ibarat mata air yang tidak pernah kering. Ia merupakan sumber kehidupan yang selalu segar. Kapanpun kita mau, kita bisa serta merta mengambilnya. Bahkan, kita bisa senantiasa menyeertakannya dalam tiap jenak kehidupan kita. Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah sebagai Al Qur'an berjalan. yaitu pribadi-pribadi yang sellau menjadikan Al Qur'an sebagai pijakan dalam bersikap.
Ada 3 ayat yang disebutkan secara beruntun dalam Surat Al Baqoroh. yaitu ayat terkaid dakwah, dan cara yang harus kita tempuh agar tidak lelah di dalamnya. Ayat tersebut adalah ayat 44-46. Ayat ini dimulai dengan kalimat,
“ Mengapa kamu suruh
orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka
tidaklah kamu berpikir?” Ini adalah kalimat yang terdapat
dalam ayat 44. Sebuah teguran dari Allah Subhanahu Wa Ta’alaa kepada
ahli KItab, Yahudi dan Nasrani. Teguran yang maknanya gugatan. Ya, Allah
menggugat mereka. Gugatan itu terjadi karena laku yang tak bersesuain
dengan kata. Pasalnya, para ahli kitab menyeru kepada pengikutnya untuk
masuk islam, melakukan perintah Allah, sementara mereka sendiri tidak
menjalankannya.
Dalam ayat sebelumnya, ahli kitab telah
dilarang oleh Allah agar mereka tidak menjual ajaran Agama Allah dengan
nilai yang sedikit,
“ dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” Ayat 41 ini, kemudian diikuti dengan perintah agar Ahli Kitab hanya bertaqwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaa.
Ketika
kita telusuri lebih jauh, ternyata kalangan mereka termasuk yang
menuruti hawa nafsu. Dimana fatwa mereka , ajaran mereka, bukan murni
karena Allah. Melainkan sesuai pesanan pihak yang berkuasa, juga
disesuaikan dengan apa yang mereka kehendaki. Wajarlah jika kemudian
mereka mendakwahkan sesuatu yang tidak mereka lakukan. Perbuatan ini,
langsung ditegur oleh Allah dengan turunnya ayat 44 surat Al-Baqoroh
tersebut di atas.
Sayyid Qutb menerangkan, bahwa ayat ini
secara khusus memang menyinggung ahli kitab. Namun, jangkauan ayat ini
sangatlah luas dan berlaku untuk kaum muslimin dan para juru dakwah
hingga akhir zaman. Dimana sebelum berdakwah, kita ditutuntut untuk
melakukan apa yang akan kita sampaikan. Sehingga kita tidak akan dikenai
murka dari Allah. FirmanNya dalam surat Ash Shof ayat 3
,” Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Dua
ayat ini hendaknya membuat kita tunduk sehingga kita akan mendakwahkan
apa yang telah kita lakukan. Jika tidak? Maka tunggulah datangnya janji
Allah itu.
Mudahkah melakukan apa yang kita katakan?
Tentunya tak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan sangat susah
sekali. Karena kata memang lebih muda dari laku. Untuk berkata, kita
cukup membuka rahang dan kemudian menggerakkan lidah untuk mengucapkan
apa yang kita kehendaki. Tentunya, dengan ijin Allah. Namun, untuk
menepati apa yang kita lakukan, sangatlah dibutuhkan perjuangan untuk
melakukannya. Mari katakan, “ Besok kita akan tahajud dengan bacaan 1
juz.” Ternyata, esoknya banyak sekali aral dan rintangan yang
menghadang. Ini merupakan salah satu bentuk ujian keimanan untuk kita.
Karena pahala yang besar tidak mungkin diperoleh dengan pengorbanan yang
sedikit. Maka, totalitas adalah keniscayaan.
Allah adalah
Maha Mengetahui, Dia tidak mungkin menyuruh kita tanpa fasilitas.
Perintahnya yang sulit itu, ternyata dilanjutkan dengan kiat yang mesti
kita lakukan. Ya, pada ayat berikutnya, Allah memberikan kiat kepada
kita agar bisa melakukan apa yang telah kita dakwahkan. Allah mengajari
kita agar kita bisa menepati setiap kekata kebaikan yang terlanjur
meluncur dari mulut kita. Apakah kiat dari Allah itu?
“
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',”
inilah dua kiat itu : Sabar dan Sholat. Dua kiat inilah yang akan
memudahkan kita untuk melakukan apa yang telah kita katakan. Agar Allah
tidak menurunkan murkaNya karena ketidak tepatan dakwah yang kita
galakkan.
Sabar maknanya adalah menahan.
Sebagaimana Puasa yang dimaknai sebagai setengah kesabaran, karena
ketika puasa kita diwajibakan untuk menahan makan, minum dan melakukan
hal-hal yang membatalkan puasa kita.
Para Ulama’ membagi sabar
dalam 3 jenis. Yaitu Sabar dalam melaksanakan perintah Allah, Sabar
untuk tidak bermaksiat kepada Allah dan Sabar dalam menerima musibah.
Sabar yang tertinggi adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan. Kita
semua faham, bahwa setan senatiasa menggoda agar kita tergelincir.
Ketergelinciran itu kita dapati manakala kita mengingkari apa yang
diperintahkanNya. Oleh karena itu, sabar dalam tahap ini adalah yang
paling agung pahalanya. Karena untuk melakukan ketaatan sepanjang hidup,
susahnya bukan main.
Pastilah susah untuk membiasakan
pergi ke masjid ketika adzan berkumandang. Apalagi untuk merutinkan
membaca Qur’an barang satu atau dua juz setiap hari. Belum lagi
mendawamkan diri untuk terus melakukan shalat dhuha. Pasalnya, ketika
dhuha’ itu adalah waktu yang enak untuk ngobrol sebelum kerja. Belum
lagi susahnya untuk melangkahkan kaki ketika ada undangan kajian, bangun
di tengah malam ketika yang lain tertidur dalam kehangatan kasur atau
pasangan hidup dan seterusnya. Terlebih untuk sekedar berbagi nikmat
dengan pengemis yang lewat atau tetangga yang memang kurang berpunya
harta. Ini semua, pastilah membutuhkan kesabaran yang baja.
Setelah
sabar, Allah menyebutkan Sholat sebagai salah satu sarana minta tolong
agar kita mampu menepati apa yang kita katakan. Lebih jauh, Shalat juga
merupakan sarana untuk minta tolong atas semua masalah yang kita hadapi.
Rasulullah
sebagai teladan terbaik, seringkali meminta bilal untuk adzan dengan
bahasa, “ Istirahatkan kami dengan sholat ya Bilal.” Dalam riwayat lain,
beliau juga berkali kali meyebutkan bahwa shalat bisa menolong
pelakunya dari keterbelitan masalah kehidupan. Ini sangatlah bisa
difahami, karena shalat adalah sarana untuk menghubungkan kita dengan
Allah sebagai Solusi atas setiap masalah kita.
Dalam
sebuah riwayat, sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir, bahwa
Ibnu Mas’ud tengah berbaring sembari memegangi perutnya. Nabi yang
melihat itu kemudian bertanya, “ Wahai Ibnu Mas’ud, apakah perutmu
sakit?” jawab Ibnu mas’ud jujur, “ Ya Nabi. Perutku sakit.” Rasul
kemudian menjawab, “ Dirikanlah Sholat karena sholat adalah obat bagi
penyakit.”
Dalam realita kekinian, apa yang disabdakan
oleh nabi itu benar adanya. Dimana shalat tahajud yang terus menerus
kita lakukan merupakan salah satu cara untuk menyembuhkan berbagai macam
penyakit. Kok Bisa? Dalam dunia kedokteran, disebutkan bahwa penyakit
yang menyerang tubuh kita, aksi paling dahsyatnya terjadi ketika berada
di penghujung malam. Ketika itu tubuh dalam keadaan yang sangat lemah
karena pulas tertidur. Ketika waktu itu kita gunakan untuk bangun dan
sholat, maka tubuh kita melaksanakan gerakan-gerakan sholat yang
fungsinya juga untuk menyehatkan tubuh sehingga aksi penyakit kala itu
jadi melemah lantaran adanya perlawanan dari tubuh yang diserang.
Dalam
buku Terapi Shalat Tahajud, dimana buku tersebut ditulis dari hasil
sebuah penelitian terkait pengaruh kesehatan bagi pelaku shlat Tahajud
yang menderita berbagai penyakit. Buku tersebut menyebutkan bahwa
Tahajud yang dilakukan secara rutin, 11 rokaat tepat di jam 3 dini hari
selama 40 hari, Insya Allah bisa menyembuhkan penyakit jantung dan
penyakit yang berbahaya lainnya. Ini adalah fakta yang memang Allah
ciptakan. Karena kedekatan denganNya, hasilnya hanya satu : keuntungan
dunia dan kebahagiaan akhirat.
Setelah sabar dan sholat
yang kita lakukan, maka Allah pasti menolong kita dalam setiap persoalan
yang mampir. Lantas, mudahkah untuk melakukan keduanya? Ternyata
jawabannya
, “ Sesungguhnya Sabar dan sholat itu Berat kecuali bagi orang-orang yang Khusyu’.
Ya. Hanya khusyu’ yang membuat kita mudah untuk bersabar dan mendirikan sholat.
Khusyu’
maknanya dalah ketenangan hati dalam segala hal. Baik ketika sholat
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Khusyu’ bukanlah perbuatan fisik,
karenanya ia tidak dapat dinilai oleh manusia. Khusyu’ bukan pula
berjalan menunduk, shalat sambil memejamkan mata atau aneka perbuatan
yang dimaknai khusyu’. Sekali lagi, Khusyu’ adalah perbuatan hati yang
pancarannya termanifestasikan dalam laku. Maka, Nabi adalah orang yang
paling khusyu’ dan peri kehidupan beliau merupakan bukti dari
kekhusyu’annya.
Permasalahan berikutnya adalah susahnya
untuk Khusyu’. Tapi, jangan khawatir. Lagi-lagi Allah sangat meyayangi
kita. Ternyata formula agar khusyu’ sudah Allah sertakan dalam Al Qur’an
untuk kita praktekan. Agar Khusyu’, kita harus mempraktekan dua hal
ini,
“ (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” Yakin akan pertemuan dengan Allah dan yakin bahwa kita akan kembali kepadaNya.
Maka,
khusyu’ akan kita peroleh manakala kita benar- benar mengahayati sebuah
fakta bahwa di sini, di dunia ini, kita hanyalah mampir. Setelah ini,
kita akan kembali kepada sang pencipta untuk mempertanggungjawabkan
semua yang kita perbuat. Kesadaran seperti inilah yang akan mebuat kita
sungguh-sungguh dan selalu melakukan perhitungan yang cermat sebelum
mengatakan atau melakukan sesuatu. Sehingga kita akan menepati setiap
yang kita ucapkan. Karena kita akan dimintai pertanggungjawbakan atas
semuanya. Termasuk, apakah kita menepati yang kita katakan atau justru
sebaliknya?
Kawan, Allah adalah Maha Penolong.
PetolonganNya sungguhlah dekat. Sedekat kita mendekatiNya. Maka, sepelik
appaun masalahnya, serumit apapun persoalannya, mari dekati Allah. Rayu
Ia agar berkehendak menolong kita. Jangan pernah merasa sendiri, karena
Allah akan menolong kita ketika kita menolong agamaNya.